kanalhukum.co. Wacana pengadilan tanah beberapa kali mengemuka dalam sidang kabinet. Untuk itu pemerintah akan melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung. Wacana tersebut mencuat karena tingginya persoalan sengketa tanah dan mafia tanah.
Hal tersebut dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Menurut Mahfud perlu diperjelas masuk ke mana pengadilan tanah tersebut dalam lingkungan peradilan.
“Tentu kita akan bicara dengan Mahkamah Agung, karena pengadilan itu sudah ada pakem nya. Kalau pengadilan tanah masuk ke PTUN, apa ke perdata, atau ke umum, nanti kita bicarakan,” tutur Mahfud selepas memimpin rapat lintas kementerian/lembaga dan perwakilan tokoh masyarakat terkait sengketa pertanahan dan mafia tanah di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis.
Setelah berbicara dengan Mahkamah Agung, pemerintah bisa menentukan dasar regulasi pembentukan Pengadilan Tanah, misalnya, berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) atau langsung Undang-Undang (UU) “Nanti lah kalau soal Perppu, itu nanti. Kita bicara dulu dengan Mahkamah Agung. Yang penting kita bicara dulu, wujudnya kayak apa, lalu bajunya nanti apakah Perppu atau Undang-undang, kita nanti lihat,” ucapnya.
Mahfud kemudian menegaskan bahwa pada prinsipnya pemerintah sudah berpikir harus dibuatkan instrumen hukum baru untuk kebutuhan penyelesaian sengketa pertanahan dan pemberantasan mafia tanah. “Memang dilematis, (praktik) mafia tanah itu dilakukan dengan cara cepat dan melanggar hukum. Sedangkan kita (pemerintah) mau menyelesaikannya harus menurut aturan hukum. Menurut aturan hukum itu urut-urutannya panjang,” ujarnya.
Di KSP (Kantor Staf Presiden -red) juga banyak. Jadi tim anti mafia tanah itu sudah banyak, tapi ya itu tadi, selalu mentok pada prosedur-prosedur dan bukti-bukti yang sifatnya formal, sehingga perlu dicari instrumen hukum baru
Adanya pengadilan tanah diharapkan bisa menjadi jalan terobosan masalah tersebut. “Kita masih mau cari jalan terobosan yang antara lain tadi, yang dibuat pengadilan khusus, yaitu pengadilan tanah,” kata Mahfud.
Mahfud mengakui bahwa persoalan mafia tanah itu sudah terlalu banyak dan bertingkat di Indonesia, dan tidak hanya ditangani oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), tetapi juga kepolisian dan Kejaksaan Agung. “Di KSP (Kantor Staf Presiden -red) juga banyak. Jadi tim anti mafia tanah itu sudah banyak, tapi ya itu tadi, selalu mentok pada prosedur-prosedur dan bukti-bukti yang sifatnya formal, sehingga perlu dicari instrumen hukum baru,” ujarnya.