kanalhukum.co. Adanya uji materi terhadap kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan tidak melemahkan jajarannya menangani tindak pidana korupsi. Uji materi terhadap kewenangan itu bukan yang pertama. Untuk itu adanya uji materi tersebut mengganggu psikologis jaksa dalam mengusut perkara korupsi yang melibatkan korporasi ataupun pemerintahan.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Ketut Sumedana uji materi oleh seorang pengacaraadalah hal biasa. Menurutnya ada pihak-pihak yang tidak nyaman dengan konsistensi Kejaksaan RI memberantas tindak pidana korupsi . “Tidak ada (yang terganggu atau terpengaruh secara psikologis). Semua mesti siaga dalam menghadapi hal seperti ini. Hanya perlu antisipasi sejak dini,” kata Ketut.
Ketut juga mengatakan bahwa penanganan perkara korupsi baik di daerah maupun pusa tidak tebang pilih. Pihaknya selalub objektif, transparan dan berkesinambungan. “Yang paling penting tidak tembang pilih dan konsisten,” kata Sumedana.
Sumedana menyebut uji materi terhadap kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang paling gencar dilakukan oleh para koruptor. Gugatan itu sudah berulang kali ada. Salah satunya setelah adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Menurutnya penggugat melupakan kapasitas kewenangan jaksa dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tidak hanya dalam undang-undang Kejaksaan saja, namun juga terdapat pada Undang-Undang yang lain. “Kejaksaan telah memiliki sejarah panjang dalam penyidikan perkara mega korupsi. Salah satunya pernah menjadi Koordinator Penyidik Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) 1998 silam,” paparnya.
Kemudian, terkait diferensiasi fungsional yang digugat bahwa hal tersebut sudah ada dalam KUHAP yaitu pemisahan kewenangan di masing-masing lembaga seperti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Gugatan ini menjadi persoalan obscuur libel alias mengaburkan fungsi sebenarnya sebagai penegak hukum modern yang memiliki fungsi koordinasi, sinergitas, dan kolaboratif.
Maka jika dikaitkan dengan diferensiasi fungsional maka sangat tidak sesuai dan bahkan KPK sebagai lembaga yang memiliki penyelidik, penyidik, penuntut umum, dan eksekusi, berada dalam satu atap sebagai wujud reformasi penegakan hukum.
Kekeliruan Penggugat
Selanjutnya, Ketut mengatakan gugatan-gugatan tersebut sudah keluar dari konteks penegakan hukum modern dan mencederai konstitusi. Tidak ada satu lembaga pun memiliki kewenangan absolut dari sisi penegakan hukum termasuk Jaksa sebagai dominus litis yakni pengendali perkara, serta masih mempunyai fungsi koordinasi dengan penyidik dan pengawasan dengan pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Kemudian tugas dan kewenangan Kejaksaan yakni penanganan perkara mulai dari hulu sampai ke hilir, serta memastikan penyidikan dari berbagai institusi berjalan baik, sehingga menghasilkan penuntutan dan proses pembuktian yang baik pula.
“Bahkan dalam proses upaya hukum biasa sampai luar biasa, akan menjadi tanggung jawab Kejaksaan selaku Penuntut Umum dan Jaksa, hingga eksekusi terhadap putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkrah),” ujarnya.
Untuk itu , menurut ketut terjadi kekeliruan dengan menempatkan proses penyidikan berdasarkan diferensiasi fungsional. Hal ini justru mengkotak-kotakan fungsi masing-masing lembaga, dan menjauhkan sinergitas serta kolaborasi dalam penanganan perkara. Nantinya bila itu terjadi maka menyebabkan terjadinya bolak-balik perkara, menimbulkan ketidakpastian penegakan hukum, dan bahkan masyarakat tidak merasakan manfaat penegakan hukum.
Apabila gugatan dikabulkan, maka hal ini sangat bertolak belakang dengan semangat dalam penanganan perkara mega korupsi rupiah seperti PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, PT Garuda Indonesia, minyak goreng, Duta Palma, PT Waskita Karya dan lain sebagainya. “Kepentingan dan perlawanan para koruptor bukan saja menjadi ancaman penegak hukum, tetapi melumpuhkan semangat pemberantasan korupsi itu sendiri,” kata Ketut.