kanalhukum.co. Dalam rekomendasinya Tim Percepatan Reformasi Hukum mengusulkan adanya grasi massal terhadap narapidana pengguna narkotika yang masa hukumannya tergolong ringan. Usulan ini untuk mengatasi kelebihan kapasitas penghuni (overcrowded) rumah tahanan dan lembaga permasyarakatan yang didominasi pengguna narkoba.
“Hampir 100 persen lapas (lembaga permasyarakatan) secara total overcrowded. Kami mendorong adanya grasi massal terhadap pengguna narkoba atau penyalahguna narkoba yang selama menerima kriminalisasi yang berlebihan. Harapannya, ada proses untuk meng-asses (menilai, red.) mana yang betul hanya pelaku atau penyalahguna, pelaku tindak pidana ringan sehingga bisa diberikan grasi massal sehingga masalah overcrowded (lapas) bisa (tertangani) lebih baik,” kata Rifqi di Jakarta Jumat.
Rifqi kemudian menjelaskan bahwa ada ada syarat-syarat dan kriteria yang perlu dimiliki para narapidana narkotika yang akan mendapatkan grasi tersebut. Salah satunya adalah bukan residivis dan bukan pelaku tindak pidana lainnya. Selain itu Tim Percepatan Reformasi Hukum juga merekomendasikan grasi terhadap narapidana/warga binaan permasyarakatan (WBP) yang memenuhi syarat serta mereka yang tergolong pelaku tindak pidana ringan.
Ukuran keberhasilan dari rekomendasi tersebut antara lain tersedia data WBP yang memenuhi syarat. Yaitu mereka yang dipenjara hanya karena melanggar Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 atau pasal lain yang menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 seharusnya dianggap sebagai penyalahguna; WBP tindak pidana lain yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun dan dijatuhi hukuman penjara kurang dari 2,5 tahun (selain yang terkait korupsi atau kekerasan); dan mereka bukan residivis.
Usulan Grasi Massal
Terkait data-data itu, Tim Percepatan Reformasi Hukum ditargetkan diharapkan dapat dihimpun selama 3 bulan mulai Desember 2023–Maret 2024. Ukuran keberhasilan lainnya, Presiden memberikan grasi massal secara bertahap kepada WBP penyalahguna narkoba dan WBP pelaku tindak pidana ringan yang memenuhi syarat. Harapannya, kebijakan itu dapat dilaksanakan pada bulan Maret, Juni, dan September 2024.
Beberapa kementerian/lembaga yang menjadi penanggung jawab atas tindak lanjut rekomendasi itu, di antaranya Kemenko Polhukam sebagai koordinator (sektor unggulan), kemudian Mahkamah Agung, Sekretariat Negara, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, Polri, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Dalam dokumen kepada Presiden RI, Tim Percepatan Reformasi Hukum menyampaikan kelebihan kapasitas di lembaga masyarakat mencapai 77 persen. Jumlah warga binaan mencapai lebih dari 228.000, sementara kapasitasnya hanya sekitar 128.000.
Selain itu ada kepadatan penduduk yang mencapai 300 persen. Populasi terbesar adalah WBP penyalahguna narkoba, yang estimasinya mencapai 60 persen. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan masyarakat melakukan pembinaan dan perlakuan yang layak bagi WBP. Kemudian tidak menjawab permasalahan mendasar yang ada (ketergantungan narkoba). Selain itu mendorong praktik KKN di rutan/lapas serta memuat keuangan negara yang sangat besar. Biaya untuk mencukupi kebutuhan makan narkoba WBP saja lebih dari Rp1 triliun per tahun.