kanalhukum.co. Rancangan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) diharapkan mampu memperkuat lembaga BPOM. Selain itu RUU POM mampu melindungi masyarakat dari penyalahgunaan obat dan menjaga agar obat yang dikonsumsi berkhasiat.
Menurut Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh salah satu yang diusulkan dalam RUU POM adalah mengatur pengawasan setelah beredar (post market) terhadap obat dan makanan. Usulan ini nantinya akan ada pengaturan yang menjadi jaminan makanan maupun obat yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Nihayatul mengatakan selama ini pengawasan obat dan makanan pasca beredar dinilai belum maksimal. “(Selama ini) kita ini tidak punya kekuatan dalam hal menjamin yang namanya kesehatan, makanan (dan) obat yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, kita enggak punya jaminan apapun,” katanya.
Menurutnya pembahasan terhadap post market sendiri menjadi penting karena adanya kasus gagal ginjal akibat obat sirup mengandung zat beracun, etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Undang-undang ini menjadi terasa amat penting setelah muncul kasus gagal ginjal akut yang salah satu penyebabnya diduga karena cemaran obat oleh EG dan DEG dan cemaran lainnya
Diketahui dalam kasus tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengaku ada celah pengawasan produk obat pasca beredar, setelah BPOM memberikan izin edar kepada perusahaan farmasi tersebut. Oleh karena itu, RUU POM menjadi produk hukum yang diusulkan DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas tahun 2023.
“Ini menjadi sangat penting. Kemarin mulai ada gagal ginjal dan macam-macam, ini kita mendesak melakukan itu. Saat gagal ginjal, ini post marketnya yang enggak ada penelitiannya, kita jebolnya di post market, jadi harus ada pre sama post market,” ucap politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini.
Hal senada juga dikatakan Darus Siska dari Fraksi Partai Golkar ini. “Undang-undang ini menjadi terasa amat penting setelah muncul kasus gagal ginjal akut yang salah satu penyebabnya diduga karena cemaran obat oleh EG dan DEG dan cemaran lainnya,” ujar Darul Siska kepada Parlementaria di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (15/11/2022).
“Jadi, BPOM menerima penjelasan atau keterangan yang ditulis di label obat itu yang dibuat oleh produsen dan kalau sudah di lakukan self assessment, Badan Pengawasan Obat dan Makanan tidak diharuskan lagi untuk melakukan pemeriksaan ulang. Nah, itu yang kita anggap ada kelemahan dari aturan yang menjadi acuan kerja Badan Pengawasan Obat dan Makanan,” jelas Darul Siska.
Lebih lanjut, Darul menyampaikan saat ini BPOM menjalankan tugas sesuai dengan panduan standar obat Farmakope yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Karena itu, BPOM tidak memiliki kewajiban mengawasi produk jadi obat-obatan.
“Nah memang kalau RUU BPOM ini bisa kita selesaikan, sebetulnya kita boleh saja mengatur lebih lengkap, lebih banyak, lebih detail dari segi aturan-aturan yang sudah ada sekarang. Kita berharap, dengan adanya RUU ini, tentu Badan Pengawasan Obat Dan Makanan punya payung hukum yang lebih kuat dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” katanya.
Terkait pembahasan RUU POM, ia menyampaikan pembahasan RUU tentang POM sudah diajukan ke Badan Legislatif (Baleg) DPR. Nantinya, RUU POM yang telah diharmonisasi akan dikirim kembali ke Komisi IX DPR RI untuk kemudian diteruskan ke Rapat Paripurna.
“Komisi IX akan meneruskan ke paripurna dan setelah disahkan dari paripurna akan diteruskan ke Presiden untuk menunggu Surpres, siapa menteri yang ditunjuk untuk membahas RUU pengawasan obat dan makanan ini bersama DPR RI,” ujarnya.