kanalhukum.co. Ada sejumlah point penting dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Salah satunya adalah perlakuan yang sama antara lembaga penyiaran (media konvensional) dan media baru. Adanya perlakuan yang sama tersebut akan memastikan media baru atau media sosial ikut memberikan edukasi yang baik bagi masyarakat.
Hal ini dikemukakan Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari. “Yang pertama kami memandang harus ada perlakuan yang sama antara siaran di dunia penyiaran dengan siaran di media sosial atau media baru. Jadi baik TV teresterial maupun juga media baru itu harus mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan aturan,” katanya saat menjadi keynote speech dalam Seminar Nasional bertajuk “Masukan Publik Untuk Revisi UU Penyiaran”
Selain itu Kharis juga menjelaskan tidak akan membedakan aturan. Menurutnya ketika ada perbedaan aturan justru akan membingungkan. “Contohnya TV-TV swasta termasuk TVRI, yang dipantau Mas Ubadillah dan teman-teman yang ada 9 orang (KPI). Mereka punya sekitar 200 orang yang memeloti yang setiap hari 24 jam. Salah sedikit disemprit. Salah sedikit kemudian dikasih surat. Sementara, di sisi lain yang tidak masuk dalam teresterial itu bebas. Nah, ini tidak adil,” katanya.
Untuk itu, lanjut Kharis, apapun bentuk siarannya, baik dalam bentuk cuplikan maupun pernyataan dalam bentuk podcast, semua akan kena peraturan yang sama. Adapun cara mengawasi konten-konten tersebut, hal itu akan menjadi urusan KPI. “Teknis berbagai negara telah mengupayakan untuk melakukan pengawasan. Betapapun belum sempurna, namun langkah-langkah masyarakat teredukasi dengan baik dan akhirnya berjalan dengan baik,” tuturnya.
Menciptakan Iklim yang Mendidik
Selain itu Komisi I mengharapkan dengan revisi UU Penyiaran ini dapat menciptakan iklim siaran atau iklim penyiaran yang lebih berpihak pada edukasi masyarakat. “Jadi mendidik masyarakat untuk lebih baik, bukan kemudian memberikan kesempatan masyarakat menikmati hiburan yang kecenderungannya absurd,” kata Kharis.
Dia mencontohkan ada sebuah chanel di media sosial yang menyiarkan dialog-dialog berbahasa kasar. “Dalam 15 menit, misuh-nya (mengumpat) bisa sampai 100 kali, tapi itu ditonton oleh ratusan ribu orang, aneh kan. Berarti ini ada yang salah, kenapa masyarakat suka nonton justru tontonan yang sepanjang acara misuh-misuh, bahasanya kasar pakai Jawa Timuran pula,” katanya.
Menurut Kharis, tayangan tersebut tidak bisa ditegur KPI karena tidak melalui siaran teresterial. Dia pun tidak melarang kreasi atau kreartifitas, tapi harus memberi contoh yang baik. “Kita tidak ingin dunia penyiaran kita seperti itu. Kita ingin dunia penyiaran ini menjadi media untuk membawa, mendidik masyarakat agar menjadi lebih baik. Mengedukasi masyarakat menjadi lebih berakhlak kharimah atau mulia, sehingga hidup berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik,” ujarnya.
Kharis menargetkan sebelum Pemilu 2024, pihaknya sudah selesai melakukan pembahasan. Kemudian setelah Pemilu akan dilakukan sinkronisasi dan harmoni, sehingga sebelum Mei UU ini sudah dapat diundangkan. “Jadi nanti KPI sudah bisa bekerja dengan undang-undang yang baru,” tandas Kharis disambut tepuk tangan peserta seminar. ***