kanalhukum.co. RUU Kesehatan yang sedang dibahas oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI harus mampu mendorong reformasi kesehatan. Untuk itu pembahasan RUU tersebut tidak boleh grasak-grusuk seperti yang terjadi pada RUU Cipta Kerja.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher dalam keterangan tertulisnya. “RUU Kesehatan saat disahkan menjadi undang-undang diharapkan dapat memajukan reformasi kesehatan di Indonesia, bukan malah menyebabkan kemunduran,” ujar Netty.
Ia menegaskan bahwa semua mekanisme dan aturan main dalam penyusunan RUU Kesehatan harus dihormati dan dijalankan. “Selain itu, dengan metode omnibus law dan pembahasan yang ‘ngebut’ berapa banyak UU yang tidak berlaku, pasal yang hilang, dan esensi yang ditinggalkan,” ungkapnya.
Apakah metode omnibus law cocok digunakan untuk membahas kebutuhan kesehatan sebagai hak fundamental rakyat, karena akan ada 13 undang-undang yang terdampak di dalamnya.
Selain itu Netty berharap RUU Kesehatan nantinya dapat menyelesaikan masalah-masalah klasik yang sampai saat ini masih menghantui kesehatan di Indonesia. “Penyelesaian problem krusial seperti kekurangan tenaga kesehatan (nakes), kesenjangan kualitas dan pemerataan sumber daya manusia (SDM) serta fasilitas kesehatan di daerah-daerah, pendidikan profesi, pelayanan kesehatan prima, pengentasan stunting dan sebagainya harus menjadi perhatian utama,” ungkap Netty.
Selanjutnya, Netty juga menyinggung soal metode yang digunakan dalam penyusunan RUU Kesehatan. “Apakah metode omnibus law cocok digunakan untuk membahas kebutuhan kesehatan sebagai hak fundamental rakyat, karena akan ada 13 undang-undang yang terdampak di dalamnya,” imbuhnya.
Sementara itu Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai RUU Kesehatan yang akan mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memposisikan menteri dapat mengontrol BPJS adalah kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas.
Untuk itu Timboel meminta agar Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah mengeluarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) dari RUU Kesehatan. “Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) medio 2009 hingga 2011 dengan tegas memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggung jawab langsung ke presiden. KAJS menolak pengelolaan jaminan sosial di bawah kontrol menteri dan berstatus seperti BUMN. BPJS harus bebas dari intervensi menteri, kepentingan politik perorangan maupun partai politik,” kata Timboel Siregar seperti dilansir dari laman beritasatu.com.
Seperti diketahui, RUU Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus law sedang dalam tahap awal pembahasan di Baleg DPR. RUU Kesehatan ini memuat banyak UU yang akan direvisi, salah satunya UU BPJS.