kanalhukum.co. Mengelompokkan konsumen rokok dalam kategori sama dengan narkotika dan psikotropika dinilai merupakan perlakuan diskriminasi. Untuk itu jika pasal zat adiktif tidak dicabut maka konsumen rokok akan mendapatkan tindakan represif.
“Lagi-lagi pemerintah tidak fair. Menyejajarkan rokok yang merupakan produk legal dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan produk ilegal berarti sama saja memperlakukan rokok dan aktivitasnya sebagai sesuatu yang ilegal,” kata Ketua Pakta Konsumen Ary Fatanen di Yogyakarta.
Untuk itu jika pasal zat adiktif tidak dicabut, maka konsumen rokok dapat memperoleh tindakan represif dan diskriminasi. Dengan tegas Ary menolak RUU Kesehatan. “Ada kondisi norma, sosial, dan hukum yang wajib dikaji ulang oleh pemerintah. Jangan sampai tembakau disejajarkan dengan narkotika dan psikotropika,” tambahnya.
Seperti diketahui adanya pasal zat adiktif bukan hanya membatasi atau mengendalikan penggunaan tembakau. Namun tujuannya adalah menghentikan seluruh aktivitas pertembakauan mulai dari hulu sampai hilir. Termasuk juga di dalamnya petani, pekerja, pedagang, dan konsumen. Hal inilah yang oleh Pakta Konsumen melemahkan posisi konsumen produk tembakau semakin dilemahkan.
RUU Kesehatan Melanggar Sejumlah Asas
Secara prinsip perundang-undangan, Pakta Konsumen berpendapat RUU Kesehatan telah melanggar sejumlah asas, yakni asas keadilan, asas keseimbangan penghormatan terhadap hak dan kewajiban, asas partisipatif, asas keterpaduan, serta asas ketertiban dan kepastian hukum.
“Sejatinya, awal tujuan dari RUU Kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Lalu mengapa tiba-tiba ada pasal yang mau melarang total tembakau untuk dikonsumsi dan diperdagangkan di masyarakat? Ada banyak hak-hak masyarakat yang dilanggar di sini, mulai dari hak partisipatif hingga hak ekonomi,” kata Ary.
Namun demikian, lanjut Ary, konsumen berhak untuk berpartisipasi dalam memberikan masukan dalam proses penyusunan kebijakan sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal RUU Kesehatan, ia berpendapat akses keterbukaan informasi atas penyusunan regulasi ini patut dipertanyakan.
Meskipun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah membuka ruang public hearing¸ tetapi pendapat konsumen rokok terkait pasal zat adiktif tidak diakomodir. Sesuai prinsip keterbukaan informasi dan asas partisipatif serta keberimbangan, konsumen seharusnya diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
“Yang ada, RUU ini masih banyak polemik dan cacat substansi dalam materi muatannya, jelas partisipasi publiknya gagal. Berikanlah kesempatan kami berpendapat, lindungi hak konsumen. Yang terjadi justru hanya memuluskan suara yang pro saja,” ujar Ary.
Selain itu konsumen produk tembakau meminta pemerintah untuk melindungi hak konsumen. Pemerintah seharusnya mengkaji seluruh aspek secara holistik sebelum menetapkan sebuah regulasi. “Sebagai konsumen, keterlibatan kami bukan harus secara eksklusif, tetapi cukup membuka ruang dan mengakomodir pendapat kami. Sebaliknya, sampai saat ini konsumen produk tembakau itu malah dianggap seperti musuh dan dikategorikan sebagai warga kelas dua. Banyak hak-hak kami yang dilindas,” kata Ary.