KANALHUKUM.CO. Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu mengatur definisi media baru, meliputi media digital dan media sosial. Selain itu dalam revisi RUU Penyiiaran tersebut juga ada penguatan KPI yang meliputi hubungan KPI Pusat dengan KPI Daerah (KPID).
Hal tersebut dikatakan oleh Ketua KPI Pusat Ubaidillah di Jakarta, Selasa. “Ini media sosial, media digital, media baru atau apa? Agar definisinya menjadi jelas. Jangan sampai nanti ketika itu disahkan, siapa pun lembaga, baik KPI ataupun yang lain yang diamanahi pengawasan dan mengaturnya tidak melampaui kewenangannya,” ujarnya.
Ubaidillah kemudian menjelaskan bahwa sekarang ini hubungan antara KPI Pusat dengan KPID sebatas koordinasi saja. Untuk itu dirinya berharap ke depan hubungannya bersifat struktural agar koordinasi dan penganggarannya semakin baik “KPID dari Sabang sampai Merauke yang jumlahnya hari ini 33 provinsi, secara anggaran maupun kelembagaan sedang tidak baik-baik saja karena banyak yang anggarannya juga terbatas, sehingga berkegiatan tidak semua bisa maksimal,” ungkapnya.
Berikutnya, Ubaidillah mengharapkan revisi UU Penyiaran memberikan kewenangan tambahan kepada KPI tentang audit lembaga pemeringkatan atau rating program siaran. “Bahwa rating ini selama ini hanya tunggal lembaganya sehingga harapannya ke depan ada inisiasi baru, baik di milik negara ataupun swasta. Dengan begitu, ada pembanding ketika lembaga penyiaran melakukan pemeringkatan program siarannya,” jelasnya.
Revisi UU Penyiaran
Sementara itu Anggota KPI Pusat Tulus Santoso, menyatakan pengaturan konten isi siaran dalam RUU Penyiaran dilakukan demi kepentingan publik. “Untuk kepentingannya siapa? Yang jelas di sini adalah bahwa tadi berkali-kali isunya adalah tentunya masyarakat. Ada isu perlindungan kepada penonton di situ. Apakah kemudian nanti ada penonton lain yang akan dirugikan? Kemungkinan besar (iya),” kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.
Tulus menjelaskan salah satu bentuk pengaturan konten isi siaran demi kepentingan publik adalah saat film bermuatan sadis tayang di televisi. Ia juga mengatakan apabila negara mencoba memfasilitasi seluruh keinginan publik terhadap isi siaran maka negara dianggap telah gagal. “Bahwa ada berbagai kepentingan yang muncul dan itu harus difasilitasi, apakah kemudian (perlu) menyenangkan 270 juta penduduk Indonesia? Tidak, karena kalau kita mencoba untuk menyenangkan semua orang, di situlah kita sudah gagal. Jadi, bagaimanapun itu maka agregasi kepentingan itu harus tetap dijaga,” katanya.
Menurut Tulus apabila masyarakat menginginkan KPI tidak mengatur konten isi siaran maka dipersilakan menyuarakan pendapat kepada DPR RI sebagai pembentuk undang-undang.