kanalhukum.co. Maraknya platform digital securities crowdfunding (SCF) atau layanan urun dana di industri pasar modal Indonesia yang belum didukung dengan regulasi yang solid. Apa yang terjadi saat ini yakni inkonsistensi regulasi layanan investasi. Adanya inkonsistensi pengaturan di bidang investasi menimbulkan dualisme peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Hal tersebut dikatakan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Koperasi dan Investasi pada Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Yudho Taruno Muryanto. Menurut Yudho saat ini masih banyak masalah SCF ini. Selain inkonsistensi regulasi layanan investasi, masih tumpang tindihnya klasterisasi jenis dan instrumen investasi ada juga serta persoalan tanggung jawab pengelolaan investasi dalam pemenuhan prinsip keterbukaan.
Menurut Yudho inkonsistensi pengaturan di bidang investasi menimbulkan dualisme peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Satu sisi OJK mempunyai tugas pengaturan, pengawasan. Namun di sisi lain OJK berwenang menetapkan suatu lembaga hukum atau hubungan hukum masuk ke dalam kualifikasi sektor jasa keuangan dalam hal ini di bidang pasar modal. “Namun di sisi lain Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) menyatakan kegiatan layanan SCF tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari penawaran umum di pasar modal. Oleh karena itu, regulasi seperti ini harus diperjelas dan dipertegas,” katanya saat pengukuhan sebagai Guru Besar UNS.
Transaksi SCF
Sementara itu, hubungan hukum para pihak yang terlibat dalam transaksi SCF diatur dalam POJK Nomor 57/POJK.04/2020 tentang penawaran efek melalui layanan urun dana berbasis teknologi informasi. Saat ini regulasi tersebut sudah direvisi menjadi POJK Nomor 16/POJK.04/2021.
“Sesuai POJK, dalam SCF terdapat sejumlah pihak yang terlibat. Pertama, penyelenggara atau pemilik platform yang berperan untuk melakukan review atas usaha dan prospek usaha yang dimiliki oleh penerbit. Kedua, penerbit efek seperti instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, dan sejenisnya yang merupakan pemilik usaha dan penerima modal. Ketiga, pemodal atau investor yang akan membeli efek yang diterbitkan oleh penerbit,” katanya.
Selain itu Yudho menilai tujuan lahirnya SCF sangat baik yaitu melakukan inovasi dan optimalisasi teknologi informasi di sektor investasi. Hal ini akan menjadikan pelaku usaha memiliki lebih banyak pilihan untuk mendapatkan modal bagi penguatan bisnisnya. “Harapannya dengan bisnis yang bertumbuh makin solid. Para penerbit dapat menjangkau akses modal yang lebih besar dengan melakukan initial public offering atau IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI),” katanya.
Oleh sebab itu, lanjut Yudho penting sekali adanya standardisasi struktur usaha penerbit. Menurutnya tanggung jawab pemilik platform SCF juga akan lebih mudah. Untuk itu Yudho mengusulkan setiap penerbit di platform SCF berstatus perseroan terbatas. “Standardisasi badan usaha penerbit akan memudahkan penerbit untuk dapat meningkatkan status, kelas, dan kinerjanya. Sehingga kemudian dapat listing di pasar modal seperti tujuan awal lahirnya SCF. Menjadi tugas OJK bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh platfom SCF dapat dipertanggungjawabkan dan berjalan baik,” katanya.
Berdasarkan data OJK pada bulan Agustus 2023 terdapat sebanyak 16 platform SCF yang telah mengantongi ijin OJK. Adapun dana yang terhimpun sebesar Rp951,20 miliar. Sedangkan total pelaku usaha yang terlibat dalam platform tersebut sebanyak 439 penerbit dengan jumlah pemodal mencapai 159.408 pihak.