kanalhukum.co. Adanya rencana mengubah sistem pemilihan umum (pemilu) dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup hanya akal-akalan untuk menunda pemilu.
Hal tersebut disampaikan Ahli Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari dalam diskusi bertajuk “Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia” yang diadakan Forum Diskusi Denpasar 12. “Saya khawatir perubahan sistem ini adalah akal-akalan untuk kemudian, misalnya, yang sedang marak dibicarakan soal potensi penundaan pemilu,” kata Feri Amsari di Jakarta, Rabu.
Menurut Amsari jika sistem pemilu diubah menjadi proporsional tertutup, maka Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan memberikan waktu penyelenggara pemilu untuk mempersiapkannya selama tiga tahun. “Ini sama saja dengan cerita menunda pemilu dengan menggunakan berbagai jalan salah satunya dengan mengubah sistem pemilu,” ujar dia.
Jika hal tersebut benar maka akan berimplikasi bagi demokrasi dam melanggar prinsip konstitusional termasuk melanggar azas pemilu yang ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Tentu saja ini adalah upaya lain untuk mempertahankan kekuasaan,” ucapnya. Selain itu juga melanggar konstitusi dan membuka ruang penolakan dari masyarakat di Tanah Air.
Isu pergantian sistem pemilu mencuat setelah adanya gugatan terhadap pasal sistem proporsional terbuka di UU Pemilu yang dimulai sejak 2009.
Amsari juga menyinggung soal anggapan yang mengatakan bahwa sistem pemilu proporsional terbuka potensial terjadinya praktik politik uang. Kesimpulan atau anggapan tersebut dinilainya sumir karena menyederhanakan problematika pemilu. Sebab, pada dasarnya, hampir di semua sistem pemilu potensi politik uang tetap ada.
Selain itu, lanjut Amsari, problematika politik uang berada pada peserta dan penyelenggara pemilu itu sendiri.
Sebab, apabila setiap peserta memiliki komitmen yang kuat dan bisa meyakinkan publik untuk memilihnya tanpa kekuatan uang maka diyakini politik uang tidak akan terjadi. “Pemilu yang baik mestinya pemilih yang akan mengeluarkan uang untuk calon, tidak sebaliknya calon memberikan uang kepada pemilih,” ucapnya seperti dilansir laman antaranews.com.
Isu pergantian sistem pemilu mencuat setelah adanya gugatan terhadap pasal sistem proporsional terbuka di UU Pemilu. Penggunaan sistem proporsional terbuka murni dimulai sejak 2009. Dalam sistem tersebut pemilih dapat mencoblos partai politik atau nama calon anggota legislatif (caleg) yang diharapkan duduk di parlemen, dan caleg yang berhak mendapatkan kursi di parlemen adalah mereka yang berhasil meraup suara terbanyak.
Sementara dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai politik. Partai yang kelak berwenang menentukan anggota dewan yang berhak duduk di parlemen mewakili suatu daerah pemilihan.