KANALHUKUM.CO. Sulitnya masalah replanting (penanaman ulang) sawit bagi petani mendorong DPR untuk membentuk pansus. Pembentukannya sangat dimungkinkan karena penyelesaian dalam replanting sawit ini lintas kementerian tidak hanya sebatas DPR saja.
“Kami akan membuat rekomendasi untuk teman-teman periode selanjutnya. Apakah ini perlu ditingkatkan menjadi pansus karena ini terkait dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perindustrian. Jadi memang ini ada keterkaitan dengan tiga komisi,” ujar wakil ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman di Pontianak.
Adanya pansus itu sangat penting karena dampak buruk yang akan terjadi dari terhambatnya proses replanting. Selain berdampak pada produktivitas sawit, juga akan mempengaruhi pendapatan negara bukan pajak. Seperti diketahui hasil sawit menjadi salah satu penyumbang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terbesar di Indonesia.
“Pada saat mereka (petani) ingin melakukan penanaman ulang, mereka terkendala dengan aturan-aturan yang memang dibuat. Nah ini menghambat produktivitas peningkatan produksi kelapa sawit itu. Dampaknya ke mana? dampaknya kepada peningkatan menurunnya pendapatan negara dari kelapa sawit itu. Tadi teman-teman koperasi menyampaikan pengajuan penanaman ulang atau bahasa kerennya replanting itu, pengajuan sudah hampir 1 tahun lebih. Ada yang tiga tahun,” tambah Maman
Maman pun mengingatkan, harusnya regulasi mengenai replanting tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian dan Lingkungan Hidup untuk memperhitungkan aspek lingkungan saja, tetapi juga melibatkan pertimbangan dari sisi ekonomi dan industri. Sehingga petani sawit tidak merasa dirugikan dengan aturan-aturan yang berlaku.
Perlidungan Pada Petani Sawit
Menanggapi hal tersebut Gunawan dari Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)menyebut pansus diperlukan untuk membuka kendala RA di perkebunan sawit. Kemudian juga apakah penghimpunan dana kelapa sawit membawa keadilan dan kemakmuran bagi petani. “ Selain melihat fakta, Pansus perlu melakukan analisa dan evaluasi peraturan perundang-undangan terkait perkebunan sawit khususnya yang terkait perlindungan dan pemberdayaan pekebun,” ujar Gunawan
Gunawan yang juga anggota Penasihat ADeSI (Asosiasi Desa Sawit) ini menyebut yang menghambat sawit itu ada dua. “Pertama, legalitas pekebun. Agar dapat menerima program PSR, petani pekebun harus memiliki sertifikat hak atas tanah dan STDB (surat tanda daftar budidaya). Problemnya banyak petani pekebun sawit belum memiliki legalitas tersebut. Kedua. Dukungan pembiayaan PSR sebesar 30 juta tidaklah cukup,” ungkapnya.
Kemudian solusinya di bidang legalitas adalah dukungan kepada petani untuk memperoleh sertifikat hak atas tanah dan STDB melalui kebijakan reforma agraria. “ Biaya PSR perlu ditingkatkan menjadi 60 juta sesuai kebutuhan kongkret di lapangan,” tambahnya.