kanalhukum.co. Pencabutan skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) merupakan langkah yang tepat. Hal ini disebabkan power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945.
Hal tersebut dikatakan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi. Menurutnya pencabutan skema power wheeling dari RUU EBT merupakan keputusan yang tepat.
“Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat,” ujarnya dalam pernyataannya.
Seperti diketahui power wheeling adalah mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual listrik kepada pelanggan rumah tangga dan industri.
Penjualan listrik IPP tersebut mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM. Namun penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara.
“Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen. Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik,” kata Fahmy
Selanjutnya Fahmi mengatakan power wheeling berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen karena penetapan tarif listrik diserahkan kepada mekanisme pasar. Selain itu menurut Fahmi, power wheeling dapat membuat beban APBN menjadi membengkak untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. “Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan,” katanya.
Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen. Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik
Fahmi menyebut skema power wheeling merupakan liberalisasi kelistrikan dan melanggar Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dia juga menilai power wheeling sesungguhnya merupakan pola unbundling yang diatur dalam UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Pola unbundling itu sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui keputusan Nomor 111/PUU-XIII/2015, MK memutuskan bahwa unbundling dalam kelistrikan tidak sesuai dengan UUD 1945.
RUU EBT dilansir dari laman resmi Kementerian ESDM, disusun sebagai kebutuhan mendesak karena diperlukan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan, sehingga EBT dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Adanya regulasi dalam bentuk UU tersebut diharapkan ada kepastian hukum, penguatan kelembagaan dan tata kelola, pencipataan iklim investasi yang kondusif, serta sumber EBT untuk pembangunan industri dan ekonomi nasional.
Adapun substansi pokok pendalaman Daftar Investasi Masalah atau DIM RUU EBT, meliputi transisi energi dan peta jalan, sumber EBT, nuklir, perizinan berusaha, penelitian dan pengembangan, harga EBT, dukungan pemerintah, dana EBT, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat. ( Dari berbagai sumber)