kanalhukum.co. Gugatan terkait sistem pemilu ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut terungkap saat Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi membacakan keputusannya terkait gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu). Dari keputusan MK tersebut maka sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman di Jakarta Pusat, Kamis. Sementara itu Hakim Konstitusi, Saldi Isra menyebut mendalilkan penyelenggaraan pemilu dengan sistem proposional terbuka telah mendistorsi peran partai politik. “Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilu 2009 hingga 2019 seperti menginglangkan peran sentral partai politik dalam kehidupan berdemokrasi,” ujarnya.
Saldi juga menampik kekhawatiran calon anggota DPR/DPRD yang tidak sesuai dengan ideologi partai. Ia menjelaskan parpol memiliki peran sentral dalam memilih calon yang dipandang dapat mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai politik yang bersangkutan.
Tentang peluang terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi menyebut semua sistem pemilu sama-sama berpotensi adanya praktik politik uang. “Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit. Partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut “nomor urut calon jadi” agar peluang atas keterpilihan-nya semakin besar,” katanya. Oleh karena itu, praktik politik uang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan tudingan disebabkan oleh sistem pemilihan umum tertentu.
Saldi Isra menegaskan bahwa dalil-dalil Para Pemohon tidak semata-mata disebabkan oleh pilihan sistem pemilihan umum. “Karena, dalam setiap sistem pemilihan umum terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistemnya,” kata Saldi Isra.
Perbaikan dan Penyempurnaan Sistem Pemilu
Menurutnya perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Perbaikan dapat dilakukan mulai sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi. Selain itu juga lewat mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik.
“Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Saldi Isra. Persidangan ini hanya dihadiri oleh delapan orang hakim konstitusi.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (Pemohon I), Yuwono Pintadi (Pemohon II), Fahrurrozi (Pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (Pemohon IV), Riyanto (Pemohon V), dan Nono Marijono (Pemohon VI).
Sebanyak delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR RI pun menyatakan menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yakni Fraksi Golkar, Gerindra, Demokrat, NasDem, PAN, PKB, PPP, dan PKS. Hanya satu fraksi yang menginginkan sistem pemilu proporsional tertutup, yakni PDI Perjuangan.