kanalhukum.co. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) menyoroti RUU Kesehatan terdapat banyak masalah. Salah satu yang paling menonjol adalah pasal 154 tentang ruang lingkup zat adiktif pada hasil olahan tembakau. Untuk itu LBM PBNU mengadakan Bahtsul Masail di Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Jawa Barat, membahas.
Dalam keterangannya LBM PBNU menilai, pasal tersebut secara tidak langsung akan menjadikan para petani tembakau dan seluruh pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai seorang kriminil laiknya penanam ganja, pemakai, atau bahkan pengedar narkoba.
Ketua LBM PBNU KH Mahbub Ma’afi mengatakan bahwa RUU Kesehatan merupakan regulasi yang kontroversi karena ada satu bagian yang secara eksplisit menyamakan produk olahan tembakau dengan zat adiktif lainnya. Kiai Mahbub pun mempertanyakan tentang aturan penggunaan kemasan yang ada di dalam RUU Kesehatan tersebut. Ia heran lantaran tidak ada peringatan di botol minuman keras. “RUU ini juga menjadi kontroversial karena mengatur penggunaan kemasan. Masak kemasan rokok yang notabene beberapa ulama membolehkan diberi peringatan sedemikian besar, sementara botol miras tidak ada peringatannya?” ujar Kiai Mahbub seperti dilansir dari laman nu.or.id.
Hal yang sama juga dilontarkan Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna. Ia bahkan mengeluarkan pertanyaan retoris bahwa pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap produk olahan tembakau. “Ini membuat kita bertanya-tanya kenapa kok pemerintah begitu diskriminatif? Jangan-jangan karena miras itu mayoritas produk impor?” kata Kiai Sarmidi yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu.
Selain itu LBM PBNU menilai, industri tembakau adalah lahan strategis dan signifikan bagi lapangan pekerjaan rakyat Indonesia. Data Kementerian Perindustrian menyebutkan, total tenaga kerja yang terserap dalam industri rokok sebanyak 5,98 juta orang. Angka tersebut terdiri dari 4,28 juta orang bekerja di sektor manufaktur dan industri. Sementara 1,7 juta orang sisanya bekerja di sektor perkebunan.
Jangan Pandang Petani Tembakau Sebelah Mata
Untuk itu LBM PBNU menegaskan, kontribusi para petani tembakau tidak bisa dipandang sebelah mata. Walaupun berbagai ketidakpastian tata niaga tengah mengancam, namun ekosistem pertembakauan ternyata menyumbang 11,3 persen dari total pendapatan negara antara 2017-2022.
Sementara itu draft usulan RUU Kesehatan pasal 154 ayat (3) dinyatakan bahwa zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa: (a) narkotika; (b) psikotropika; (c) minuman beralkohol; (d) hasil tembakau; dan (e). hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Sedangkan dalam RUU Tembakau menyebut bahwa ecara eksplisit menyatakan bahwa zat adiktif yang terdapat pada hasil olahan tembakau (sigaret, rokok daun, cerutu, tembakau iris, padat, dan cair) disamakan dengan zat adiktif yang terkandung dalam narkoba, psikotropika, dan minuman beralkohol,”