kanalhukum.co. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai kewenangan memeriksa anggota TNI dalam kasus dugaan korupsi di Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas) . Hal tersebut terungkap saat sejumlah organisasi masyarakat dan lembaga bantuan hukum menyatakan sikap dalam taklimatnya. Mereka menyebut kewenangan KPK memeriksa kasus korupsi di Basarnas sesuai dengan asas-asas hukum, konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu mereka menilai KPK berwenang memeriksa dua anggota TNI aktif kasus yang diduga terkait korupsi Basarnas.
Salah satu perwakilannya, Usman Hamid dari Direktur Eksekutif Amnesty International menyebut ada tiga asas hukum terkait kewenangan KPK ini. “Asas hukum pertama adalah hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Kedua asas hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Kemudian Asas hukum yang ketiga, hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum,” kata Usman Hamid.
Selanjutnya Usman menerangkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara mengatur peradilan umum dan peradilan militer. Usman kemudian menyebut Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D UUD 1945 yang mengatur kesamaan kedudukan warga negara di mata hukum. “Setiap orang, tanpa terkecuali memiliki kesamaan kedudukan di muka hukum, baik warga sipil, warga berstatus anggota Polri, maupun warga berstatus anggota TNI. Siapa pun tidak boleh kebal hukum,” ujarnya. Untuk itu Usman menekankan tidak ada perbedaan anggota TNI dalam proses hukum, karena telah diatur dalam konstitusi UUD 1945.
Pasal 65 ayat (2) UU TNI
Terkait dengan asas kedua, Usman mengkomplain penggunaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehakiman, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Undang-Undang Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Kalau sudah ada Undang-Undang Peradilan Militer tentu Undang-Undang Kehakiman Tahun 1970 tidak berlaku lagi, tapi kalau sudah ada Undang-Undang TNI Tahun 2004, maka seluruh undang-undang di belakang dikesampingkan,” kata Usman Hamid.
Selain itu dia menekankan tentang Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur prajurit TNI tunduk pada tuntutan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Sedangkan asas hukum ketiga yaitu hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Usman menilai kasus tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. “Seharusnya pelanggaran tentang peradilan militer atau peradilan umum tidak berlaku lagi, karena itu hanya membahas yurisdiksi mana ketika anggota TNI melakukan tindak pidana umum. Yang terjadi (di Basarnas) bukan tindak pidana umum, yang terjadi sekarang tindak pidana khusus,” ungkapnya.
Selain itu Usman juga menyelesaikan sengketa persidangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, terutama Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92, mekanisme koneksitas berlaku saat warga negara bersama-sama anggota TNI melakukan tindak pidana umum, bukan tindak pidana khusus. “Korupsi tindak pidana khusus, bukan tindak pidana umum. Korupsi tidak ada yang terutang dengan tugas militer, tidak ada yang terlaporkan dengan kepentingan militer,” katanya.
Usman menyampaikan Pasal 89 KUHAP disahkan jika tindak pidana dilakukan oleh warga sipil dan anggota TNI, maka pemeriksaan perkara menjadi kewenangan peradilan umum. Kecuali, ada keputusan menteri pertahanan (menhan) dan menteri kehakiman/menteri hukum dan HAM (menkumham) yang menetapkan perkara yang diperiksa oleh peradilan militer. “Dalam kasus Basarnas, tidak ada keputusan menhan, tidak ada keputusan menkumham,” katanya.
Kemudian, Pasal 90 KUHAP lanjut mengatur jika ada kesepakatan mengenai yurisdiksi, maka perlu ada penelitian bersama yang dituangkan dalam acara berita dan ditandatangani oleh para pihak. “Kuncinya, riset bersama dan tuangkan dalam berita acara,” katanya.
Terakhir, Pasal 91 KUHAP, yang menurut Usman sangat penting untuk menentukan yurisdiksi dalam menilai suatu masalah. “Pasal 91 itu penting sekali, (karena mengatur) kalau ada pelanggaran otoritas persidangan militer dan peradilan umum, maka harus dihitung dari titik berat kerugiannya,” kata Usman.
Jika kerugiannya lebih berat untuk kepentingan umum, maka masalah itu di periksa oleh undang-undang umum. Sebaliknya, jika kerugian dari suatu perkara lebih merugikan kepentingan militer, maka kasus itu dibawa ke peradilan militer. “Kalau kasus korupsi terjadi di badan SAR yang dibentuk oleh TNI untuk tugas-tugas TNI, jelas itu dibawa ke peradilan militer, tapi yang korupsi terjadi di Badan SAR nasional, bukan lingkungan terbatas TNI,” katanya.
Dalam taklimat itu ada beberapa organisasi sipil yang turut menyampaikan sikap. Diantaranya adalah YLBHI, KontraS, Lingkar Madani, Centra Initiative, ICW, PBHI, Setara Institute, ELSAM, Forum De Facto, KPI, HRWG, dan Imparsial. ( sumber : antaranews.com )