kanalhukum.co. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengajukan revisi PP Nomor 85 Tahun 2021 dengan menampung aspirasi nelayan serta pelaku usaha. Hal ini terkait dengan biaya operasional atau harga pokok produksi dalam menentukan besaran indeks tarif PNBP pascaproduksi.
“Dan di dalam prosesnya kita harapkan ini bisa segera cepat selesai, namun demikian karena memang levelnya adalah peraturan pemerintah. Jadi ini satu level di bawah UU sehingga di dalam pembahasannya tetap membutuhkan waktu sampai dengan diundangkan,” ujar Direktur Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ukon Ahmad Furqon dalam Bincang Bahari “Pengaturan PNBP Pasca Produksi” yang digelar di Jakarta belum lama ini.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 2021, tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan disebutkan Formulasi pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terbagi dalam tiga kategori yakni penarikan pra produksi, pasca produksi dan sistem kontrak. Untuk sistem pasca produksi sendiri baru akan diterapkan menyeluruh di pelabuhan perikanan pada awal tahun 2023 menggantikan sistem pra produksi.
Namun setelah adanya uji coba dan serap aspirasi dari stakeholder diputuskan akan dilakukan revisi akan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2021. Revisi dilakukan atas adanya keberatan dari nelayan/pelaku usaha perikanan atas indeks tarif 10% bagi kapal di atas 60 GT.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2021 menetap penghitungan PNBP SDA perikanan ialah indeks tarif (%) dikalikan nilai produksi per jenis ikan saat didaratkan. Dimana dalam PP 85 indeks harga sudah ditetapkan, yakni kapal untuk ukuran di atas 60 gross tonnage (GT) adalah 10%. Kemudian kapal yang di bawah 60 GT dan 60 GT adalah 5%.
Namun setelah adanya uji coba dan serap aspirasi dari stakeholder diputuskan akan dilakukan revisi akan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85/2021. Revisi dilakukan atas adanya keberatan dari nelayan/pelaku usaha perikanan atas indeks tarif 10% bagi kapal di atas 60 GT.
“Ini yang kemarin mendapat masukan dari rekan-rekan pelaku usaha dan lainnya, khususnya untuk kapal di atas 60 GT tarif 10% ini dianggap cukup besar, mungkin terlebih pada saat ini karena kondisi ekonomi kemudian kenaikan BBM dan lainnya,” katanya.
Ukon mengatakan bahwa proses revisi saat ini sedang berjalan. Kementerian Keuangan menurutnya sangat mendukung adanya revisi PP tersebut. Namun menurut Ukon, pihaknya belum menyampaikan berapa usulan yang menjadi titik temu dari revisi terhadap mekanisme formulasi dari PNBP SDA perikanan.
“Seperti apa mekanismenya formulasinya tentunya terkait dengan indeks tarif untuk kapal di atas 60 GT yang kita sesuaikan. Tentunya dalam proses revisinya kita akan berdiskusi dengan rekan-rekan nelayan, termasuk tentunya rekan-rekan nelayan Pantura dan lainnya,” jelasnya.
Sementara Ketua Front Nelayan Bersatu Indramayu Kajidin mengatakan, angka 10% dinilai berat, karena dianggap dihitung berdasarkan pendapatan kotor atau penghitungan masih di atas kapal. Ia mengatakan ketika skema PNBP pasca produksi diterapkan harapannya tidak membuat nelayan terpuruk. Pasalnya banyak nahkoda yang masih buta huruf. Sedangkan skema PNBP pasca produksi ini akan memanfaatkan teknologi dalam pelaksanaannya.
“Nahkoda kita banyak yang buta huruf lalu diberi aplikasi download aplikasinya bingung, catat ikan bingung, itu jadi bumerang. Saya takutkan apa yang dicatatkan tidak sesuai fakta nanti bisa dianggap kesalahan yang melawan hukum,” ungkapnya dilansir dari laman kontan.co.id.
Sedangkan Riswanto Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah mengatakan, berapapun indeks tarifnya jika diambil dari produksi kotor akan menjadi besar dan memberatkan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Pasalnya akan berdampak pada berkurangnya bagi hasil, di mana nelayan di daerah mayoritas menggunakan sistem bagi hasil.