KANALHUKUM.CO. Rancangan Undang-Undang Pilkada yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI dengan pemerintah adalah bentuk pembangkangan. Menurut Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna, pihaknya tidak perlu bersikap apa-apa terkait dinamika yang terjadi di antara pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Hal tersebut karena MKMK memang tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa Baleg.
“Tapi, cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi,” kata Palguna dilansir dari laman anatarnews.com. Menurutnya pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI itu sudah berada di luar kewenangan MK. “Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan,” ungkapnya.
Dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR guna disahkan menjadi undang-undang.
Delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu meliputi Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP, sedangkan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.
Sikap Pemerintah
Pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyampaikan persetujuan agar RUU Pilkada diparipurnakan. Terdapat dua materi krusial RUU Pilkada yang disepakati dalam Rapat Panja RUU Pilkada ini.
Pertama, Pasal 7 UU Pilkada terkait syarat usia pencalonan disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Pasal 7 ayat (2) huruf e, disepakati berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih.
Namun MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghitungan syarat usia calon kepala daerah harus terhitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pasangan calon terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
Kedua, Pasal 40 UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tidak mengakomodasi putusan MK secara utuh. Baleg menyepakati, ambang batas yang ditentukan MK dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 diberlakukan hanya bagi partai nonparlemen atau tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama, yakni minimal 20 persen perolehan kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah.
Sementara itu dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK sejatinya menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon melalui partai politik atau gabungan partai politik hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu di daerah yang bersangkutan, yakni berkisar 6,5 hingga 10 persen.