kanalhukum.co. Isu kesehatan jiwa didorong masuk dalam pembahasan RUU kesehatan. Hal ini berangkat dari adanya beberapa titik-titik krusial dalam RUU kesehatan tentang kesehatan jiwa yang harus dikritisi.
“Kita mendukung upaya menghadirkan masyarakat yang sehat jiwa raga, fisik mental, dan tak ada yang terabaikan. Termasuk mereka yang mengalami masalah kesehatan jiwa atau gangguan jiwa. Kita tahu berdasarkan berbagai data menunjukkan peningkatan prevalensi dari tahun ke tahun,” ujar anggota Badan Legislasi DPR RI Ledia Hanifa
Tercatat di Indonesia ada peningkatan prevalensi orang yang memiliki masalah kesehatan jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Kemudian lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
“Dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun tentu kita tidak bisa abai dalam pencegahan dan penanganan kesehatan jiwa ini. Agar jumlah kasus kesehatan jiwa tidak bertambah, maka kita harus mengakomodir berbagai upaya pencegahan dan penanganannya dalam RUU Kesehatan,” paparnya.
Kritisi RUU Kesehatan
Menurut Letifa ada beberapa hal dalam pembahasan RUU Kesehatan Omnibuslaw ini harus dikritisi. Pertama, tanggungjawab pemerintah dalam hal penyelenggaraan fasilitas kesehatan jiwa harus jelas tertuang di dalam RUU Kesehatan. . Termasuk dalam hal ini tanggungjawab dan jaminan ketersediaan SDM dan fasilitas yankesnya.
Kedua, upaya promotif preventif terkait masalah kejiwaan harus dikedepankan. Hal ini karena prevalensi orang dengan masalah kesehatan jiwa terus meningkat karena berbagai sebab.
“Upaya kuratif dan rehabilitatif memang penting untuk menangani masalah orang yang memiliki gangguan kesehatan jiwa. Namun upaya promotif preventif harus lebih kuat untuk menekan angka prevalensi. Selain juga untuk mendukung pencapaian kehidupan masyarakat yang sehat secara fisik, mental, sosial dan spiritual,” ujarnya.
Selain itu Ledia juga mengingatkan upaya preventif mendukung kesehatan jiwa ini selain perlu diselaraskan dengan UU No 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi juga seharusnya bisa dilakukan di fasilitas kesehatan primer.
Ketiga, segala pembiayaan layanan kesehatan jiwa harus tercakup dalam layanan kesehatan tanggungan BPJS. “Karena penanganan kesehatan jiwa itu sama pentingnya dengan penanganan kesehatan fisik maka cakupan layanan masalah kesehatan jiwa, termasuk biaya obat-obatan yang dibutuhkan untuk pengobatan gangguan jiwa harus termasuk dalam layanan yang di-cover BPJS untuk mendukung tercapainya cita-cita kita mewujudkan SDM Indonesia yang unggul dan sehat secara fisik, mental, sosial, spiritual,” pesannya.
Keempat, mendorong agar penanganan orang dengan masalah kesehatan jiwa maupun dengan masalah gangguan jiwa harus diutamakan berbasis keluarga, berbasis masyarakat, dan berbasis pemenuhan hak. Sebab orang-orang dengan masalah kejiwaan maupun gangguan kejiwaan sesungguhnya tetap memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan dan berpartisipasi dalam pembangunan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.
“Salah satu ragam disabilitas adalah penyandang disabilitas mental. Maka penanganan bagi mereka tetap harus didasarkan pada asas pemenuhan hak (right based) bukan asas belas kasihan (charity based). Untuk itu diperlukan satu strategi sosialisasi yang masif pula tentang kesehatan jiwa ini ke tengah masyarakat agar persoalan kesehatan jiwa ini tidak lagi dipandang aneh, menakutkan hingga memunculkan diskriminasi,” pungkasnya.