kanalhukum.co. Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengaku heran mengapa draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tak kunjung selesai. Presiden mendorong RUU tersebut segera diselesaikan dan mengaku akan segera mengirimkan surat presiden (surpres) ke DPR bila pembahasan di internal pemerintahan sudah rampung.
“Saya sudah sampaikan juga di DPR, penyelesaian terkait segera selesaikan. Kalau sudah rampung, ya bagian saya untuk terbitkan surpres secepatnya, sudah kami dorong sudah lama kok, masa nggak rampung-rampung?” kata Jokowi di Depok, Jawa Barat, Kamis.
Selain itu Jokowi juga mendorong untuk mempercepat penyelesaian RUU tersebut. “Kami terus mendorong agar RUU Perampasan Aset segera diselesaikan, penting sekali UU ini,” tegasnya.
Rapat Konsolidasi soal RUU Perampasan Aset
Pekan ini pemerintah berencana menggelar rapat konsolidasi percepatan pemberian persetujuan draf aturan tersebut. Ada enam unsur pimpinan instansi yang meminta persetujuan draf naskah akademik dan RUU. Satu pimpinan lembaga yang belum memberikan persetujuan adalah Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo.
Namun pimpinan lima instansi lainnya telah memberikan paraf persetujuan. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly. Begitu juga Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Oleh karena belum semua unsur pimpinan instansi memberikan persetujuan, maka surpres dari Jokowi sebagai tanda RUU akan dibahas bersama juga belum bisa dikirimkan ke DPR.
Seperti diketahui RUU Perampasan Aset telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 sebagai bagian dari kunjungan Pemerintah. Perjalanan RUU tersebut sudah cukup panjang. Terhitung sudah 10 tahun RUU tersebut tidak kunjung dibahas DPR sejak diusulkan pada 2012 lalu.
Sebelumnya berbagai kalangan menilai RUU Perampasan Aset akan lebih efektif menjerat aset kriminal karena lebih cepat mengembalikan aset hasil kejahatan. Selain itu, RUU tersebut dinilai dapat lebih memberikan efek jera karena pelaku tidak lagi dapat menikmati akibat kejahatannya atau kerap disebut sebagai pemiskinan koruptor.