kanalhukum.co. Vonis yang kurang maksimal dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) disebabkan perbedaan visi atau cara pandang penegakan hukum. Untuk itu perlu kolaborasi dari berbagai pihak untuk dapat memaksimalkan vonis dari pelaku TPO.
Hal ini dikemukakan oleh Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani Benny. “Kesamaannya belum ada, khususnya pandangan penegakan hukum. Di satu wilayah, kepolisian menyatakan ini TPPO. Masuk kejaksaan, kejaksaan mengatakan bukan. Sehingga di pengadilan menjadi rendah hukumannya,” katanya.
Untuk itu pihaknya sudah memiliki nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang ditandatangani Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Kepala BP2MI.
Adanya nota kesepahaman itu membuat BP2MI dan Polri bisa menggencarkan kerja sama (kolaborasi) ketika menyelidiki kasus berpotensi TPPO di lapangan. Adanya kerjasama ini diharapkan bisa memaksimalkan penyelidikan sehingga mampu menyeret pelaku dan memenjarakannya.
Ke depan, Benny berharap Kejaksaan Agung juga bisa bekerja sama pihaknya dalam upaya pemiskinan para beking penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal, misalnya ketika harta-harta kekayaan yang diperoleh dari bisnis perdagangan orang itu akan disita atas nama negara.
Adanya nota kesepahaman itu membuat BP2MI dan Polri bisa menggencarkan kerja sama (kolaborasi) ketika menyelidiki kasus berpotensi TPPO di lapangan.
Ketika hartanya berupa perahu cepat (speed boat) yang dijadikan modal untuk membawa PMI ke Malaysia dan lain-lain, Benny ingin setelah disita, negara juga mengadopsi cara yang dilakukan oleh Susi Pudjiastuti sewaktu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan dahulu, yaitu penenggelaman kapal.
“Penenggelaman perahu itu upaya pemiskinan. Jadi, tidak hanya memenjarakan secara fisik tapi arahnya mafia dan sindikatnya dimiskinkan secara ekonomi,” kata Benny.