kanalhukum.co. Dalam seminggu ini salah satu kasus yang menarik adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa artis Venna Melinda. Anggota DPR RI ini berseteru dengan suaminya Ferry Irawan dan tengah melakukan gugatan hukum. Isu tentang KDRT kembali menyeruak. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan KDRT itu?
Harus diakui masih ada salah persepsi di masyarakat perihal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini. Salah satu yang paling banyak KDRT dianggap hanya berupa kekerasan fisik kepada pasangan. KDRT atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu.
Kekerasan ini dapat juga muncul dalam hubungan pacaran, atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja di rumah dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Pasal 1 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mendefinisikan KDRT sebagai,
… perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Dalam Pasal 2 UU PKDRT, ruang lingkup UU ini tidak hanya perempuan, tetapi juga meliputi.
Suami, istri, dan anak; Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga; Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut
Secara definisi KDRT adalah kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah dan hubungan personal. Kekerasan ini sering kali terjadi di antara pelaku yang memiliki hubungan personal erat dengan korban.
Menurut Komnas Perempuan, contoh-contoh KDRT yang umumnya terjadi adalah pada suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu, hingga seseorang yang bekerja membantu pekerjaan rumah tangga dan menetap di rumah tangga tersebut.
Berikut definisi KDRT berdasarkan Pasal 1 UU PKDRT.
“[…] perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”
Selain definisi di atas, KDRT juga diartikan oleh Komnas Perempuan sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Menurut UU Nomor. 23 Tahun 2004, Pasal 1 (3), seseorang yang dapat disebut sebagai korban KDRT adalah siapapun yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Sementara itu, pelaku KDRT dikategorikan Komnas Perempuan menjadi dua kelompok, yaitu negara dan non negara. Pelaku non negara meliputi suami, pasangan, ayah, ayah mertua, ayah tiri, paman, anak laki-laki, atau anggota keluarga laki-laki lainnya. Sementara itu, pelaku negara adalah pihak-pihak yang memiliki posisi tertentu di tingkat negara dan menggunakan kewenangannya untuk mengabaikan atau membiarkan kasus KDRT yang terjadi pada korban. Tidak hanya itu, penghambatan akses perempuan terhadap layanan, bantuan, dan keadilan juga dapat dikategorikan sebagai KDRT.
Menurut UU Nomor. 23 Tahun 2004, Pasal 1 (3), seseorang yang dapat disebut sebagai korban KDRT adalah siapapun yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Adapun bentuk-bentuk KDRT secara detail tertuang dalam empat pasal UU PKDRT. Berikut penjelasannya.
1. Kekerasan Fisik : Dalam Pasal 6 UU PKDRT, kekerasan fisik dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Kekerasan fisik yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat pada korban.
2. Kekerasan Psikis : Dalam Pasal 7 UU PKDRT, kekerasan psikis dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Kekerasan psikis yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada korban.
3. Kekerasan Seksual : Dalam Pasal 8 UU PKDRT, kekerasan seksual dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Dalam pasal ini, terdapat dua jenis kekerasan seksual, yaitu.
- Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga,
- Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran Rumah Tangga : Dalam Pasal 9 UU PKDRT, kekerasan fisik dikategorikan sebagai salah satu bentuk KDRT. Terdapat dua poin yang dijabarkan dalam pasal 9 yang mengatur penelantaran rumah tangga sebagai KDRT, yakni :
- Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
- Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2020, KDRT menempati urutan pertama dengan persentase 75,4 persen atau sekitar 11.105 kasus. 4.783 kasus di antaranya merupakan kekerasan fisik. Sementara itu, 6.555 kasus atau sekitar 59 persen adalah kekerasan terhadap istri.