kanalhukum.co. Rekomendasi dikeluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI terkait dengan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang mengakibatkan 326 anak kehilangan hak hidup dan hak kesehatan.
Hal tersebut dikemukakan oleh Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing di Jakarta Sabtu lalu. Dalam rekomendasi tersebut, Komnas HAM menyatakan bahwa negara telah melakukan pembiaran yang berakibat hilangnya hak untuk hidup dan hak atas kesehatan anak di Indonesia
Untuk itu Komnas HAM akan memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban. “Rekomendasi disampaikan kepada Presiden RI, Polri, Lembaga Perlindungan Saksi, dan Korban (LPSK), dan pelaku industri farmasi,” ucap Parulian.
Parulian juga mengatakan bahwa pihaknya memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis (trauma) dan dampak sosial ekonomi lainnya. Adapun penanganan dan pemulihan korban/keluarga korban dapat dilakukan dengan memberikan akses terhadap rehabilitasi dan kompensasi secara cepat dan jangka
Selain itu terkait penguatan regulasi dan tata kelola kelembagaan, Komnas HAM presiden untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian, terutama berkaitan dengan surveiians kesehatan dan sistem pengawasan. “Penguatan tata kelola kelembagaan dan peningkatan kompetensi SDM instansi pemerintah yang memiliki otoritas terkait pelayanan kesehatan dan pengawasan kefarmasian,” tambahnya.
Rekomendasi juga menyebut perlunya pengaturan secara khusus melalui UU terhadap mandat dan kewenangan BPOM RI. “Perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia (RUU Kefarmasian),” katanya.
Komnas HAM akan memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban.
Diperlukan juga regulasi khusus yang mengatur tentang pengawasan proses produksi, distribusi, pemanfaatan senyawa kimia berbahaya, dan beracun di Indonesia, termasuk memastikan adanya mandat dan kewenangan yang jelas (tidak tumpang tindih) dan terpadu (terintegrasi) antarinstansi yang memiliki otoritas terkait. “Menjamin tidak berulangnya kasus serupa di kemudian hari,” katanya.
Parulian menyebut bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus melakukan penegakan hukum secara adil, objektif, transparan, cepat, dan terukur untuk memastikan terwujudnya kepastian hukum dan pemenuhan hak atas keadilan bagi seluruh pihak terutama korban.
“Mengingat keseluruhan korban dalam perkara tersebut adalah anak dan produk obat yang spesifik ditujukan kepada konsumen anak, maka penegak hukum perlu mempertimbangkan penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dalam perkara tersebut,” jelas Parulian.
Mengingat sudah tidak relevannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, terutama terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan. Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan dimaksud, ujarnya.
Komnas Ham juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RIuntuk memberikan perlindungan bagi korban/keluarga korban dalam rangka menjamin pemberian restitusi dan kompensasi melalui mekanisme peradilan.
Sementara untuk pelaku industri farmasi Komnas HAM memainta agar mematuhi seluruh ketentuan dalam produksi dan distribusi obat sesuai dengan Farmakope Indonesia dan ketentuan perundang-undangan lainnya. Memastikan seluruh produk obat terjamin keamanan, mutu, dan khasiat. Menjamin seluruh proses bisnisnya memperhatikan prinsip-prinsip HAM sebagaimana United Nation Guiding Principles (UNGPs) on Business and Human Rights. Serta menjamin tidak berulangnya kasus serupa di kemudian hari.