kanalhukum.co . Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) masih mengalami banyak kendala. Salah satunya masyarakat banyak yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai masalah pribadi. Hal ini menyebabkan banyak enggan untuk melapor.
Hal tersebut disampaikan Perwakilan Unit Pelaksana Teknis Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPPA) DKI Jakarta Tri Palupi Diah Handayati dalam sebuah Talkshow di Jakarta. Ia mengatakan salah satu kendala upaya penerapan Undang-Undang UUP KDRT masih adanya pemikiran bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu aib.
“Dengan kompleksitas kasus KDRT yang dianggap sebagai urusan pribadi seringkali menyebabkan korban enggan untuk melapor dan merasa bahwa tindak kekerasan yang dialaminya suatu aib yang tidak perlu diketahui orang lain,” katanya.Penyebab inilah yang Tri membuat korban dan keluarga sulit untuk mengambil keputusan dan pada akhirnya malah membahayakan korban.
Adapun kendala lainnya yang diungkapkan adalah adanya perbedaan perspektif pemangku kepentingan dalam penanganan korban KDRT. Kemudian juga masih adanya ketidakpahaman masyarakat, pemangku kepentingan mengenai batasan dan proses layanan. “Kendala skema perlindungan khusus untuk korban KDRT yang belum maksimal, serta aspek pemberdayaan yang belum sepenuhnya terpenuhi,” tambahnya.
Sementara itu Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti mengatakan jumlah KDRT seperti puncak gunung es.Pihaknya menyakini bila jumlah kasus KDRT yang terjadi sebenarnya jumlahnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan.
Pemerintah melalui Kementerian PPPA kemudian menekankan pentingnya sosialisasi UU Nomor 23 Tahun 2004 PKDRT ini. Untuk itu diperlukan kesadaran masyarakat dengan membangun literasi masyarakat terkait penghapusan KDRT.
Jumlah Kasus KDRT
Sedangkan Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FLP) Siti Mazumah mengatakan pertahanan standar UU PKDRT diantaranya adalah penafsiran berbeda dari penegak hukum.”Soal penafsiran pasal di Pasal 44 Ayat 4 (UU PKDRT).Menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda antara satu aparat penegak hukum dengan aparat penegak hukum yang lain,” kata Siti Mazumah. Kemudian UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil.
Selama tahun 2022, Forum Pengada Layanan (FLP) mencatat provinsi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertinggi di DKI Jakarta. Jumlah kasusnya mencapai1.528 kasus. “Data kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling tinggi ada di DKI Jakarta.Mungkin karena DKI Jakarta secara pendataan bagus, dan juga dari sisi pengaduan juga masyarakat lebih berani melaporkan kasus,” kata Siti Mazumah.Kemudian posisi kedua adalah Jawa Tengah dengan 456 kasus. Setelah itu Nusa Tenggara Timur 291 kasus, Jawa Tengah 270 kasus, dan DI Yogyakarta 193 kasus.