kanalhukum.co. Indonesia memerlukan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional (UU HPI) di tengah era globalisasi Adanya Rancangan Undang-Undang HPI yang memuat 69 pasal akan sangat membantu tugas hakim dan peradilan ketika menyelesaikan sengketa yang kaitannya dengan hukum asing. Apalagi sekarang banyak kontrak bisnis antara warga Indonesia dengan warga asing.
Hal tersebut dikatakan Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung RI Haswandi menilai bahwa “Kami selaku praktisi mengharapkan adanya UU HPI, terutama menghadapi globalisasi saat ini. Saat ini banyak sekali kasus berkaitan dengan HPI menyangkut perdagangan serta kontrak bisnis yang ada unsur asing-nya,” ujarnya.
Haswandi melihat 69 pasal dalam RUU HPI telah memasukkan hal penting-penting. “Cuma menurut saya, mungkin perlu diatur aturan mandatory rules dan overriding mandatory rules agar tidak ada lagi konflik antar-aturan hukum. Ini harus ada batas-batasnya dan dalam praktiknya nanti tidak ada keragu-raguan mana yang harus didahulukan,” tambahnya.
Sebelumnya, Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kemenkumham Tudiono mengakui ada beberapa tantangan dalam penyusunan RUU HPI ini. Menurut Tudiono tantangan utamanya adalah tingkat pemahaman dan kesadaran publik memahami RUU HPI dan proses pembentukannya secara bersama-sama.
Sudah waktunya Indonesia memiliki RUU HPI. Mengingat telah banyak negara yang sejak lama memiliki aturan hukum hal-hal berkaitan dengan asing, seperti Jepang, Thailand.
Tudiono juga menegaskan sudah waktunya Indonesia memiliki RUU HPI. Mengingat telah banyak negara yang sejak lama memiliki aturan hukum hal-hal berkaitan dengan asing, seperti Jepang, Thailand. “Tantangan utamanya adalah determinasi bagaimana memproses RUU ini dikawal betul dari waktu ke waktu dengan target-nya supaya tepat (waktu) dan disiplin. Naskah Akademiknya harus selesai. Penyiapan konsepsi RUU-nya itu juga diselesaikan walaupun dalam pembahasan itu agak berat ya. Kemudian pembahasan antar-kementerian, target berikutnya harmonisasi,” tuturnya.
Sekedar informasi usulan pembuatan RUU HPI pernah bergulir pada 1980-an, tetapi prosesnya terhenti dan berlanjut pada 2015. Saat itu, proses penyusunan juga kembali terhenti, tetapi akhirnya berlanjut pada 2017.
Rancangan beleid hukum perdata internasional di Indonesia saat ini telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2020-2024. Sejauh ini, perumusan serta penyusunan draf RUU HPI bersama naskah akademiknya telah diselesaikan oleh tim perumus.
Indonesia belum memiliki Undang-Undang Hukum Perdata Internasional, sehingga perkara terkait itu masih mengacu pada aturan peninggalan kolonial Hindia Belanda yang usianya lebih dari satu abad. Peraturan yang menjadi acuan Indonesia dalam menangani perkara keperdataan internasional, antara lain Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesische (AB).