KANALHHUKUM.CO. Aktivitas pengerukan pasir di yang dilakukan dua kapal asing merugikan negara hingga lebih dari Rp223 miliar. Kapal tersebut terindikasi sudah beberapa kali masuk ke wilayah Indonesia. Namun aktivitasnya dalam melakukan pengerukan pasir laut masih didalami
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo menyebut bahwa aktivitas pengerukan dan hasil kerukan (dumpling) pasir laut tidak dilengkapi dokumen resmi. Dua kapal berbendera Malaysia yang kedapatan sedang melakukan aktivitas pengerukan dan hasil kerukan pasir laut di perairan Kepri pada 9 Oktober. Mereka tertangkap kapal Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono ketika hendak kunjungan kerja ke Pulau Nipa.
Victor mengatakan kedua kapal terindikasi sudah beberapa kali masuk ke wilayah Indonesia. Namun berapa kali melakukan aktivitas pengerukan pasir laut masih dalam pendalaman. Termasuk juga berapa banyak jumlah pasir yang sudah dibawa ke Singapura. Disebutkan pada salah satu kapal yang diperiksa, memuat 10 ribu meter kubik pasir laut hasil kerukan.
Bisa mencapai 1,2 Juta Ton
Dari pemeriksaan awal, salah satu nahkoda kapal mengatakan mereka mengambil pasir 10 ribu ton hanya dalam waktu 9 jam. “Menurut pengakuan mereka 10 kali dalam sebulan, kita bisa menghitung per bulan ada 100 ribu ton yang mereka ambil bawa keluar. 1 tahun berarti 1,2 juta ton,” ujarnya.
Dalam pemeriksaan terhadap dua kapal asing yang dinahkodai oleh dua warga Indonesia ini terdapat ABK dari China sebanyak 13 orang dan Malaysia 1 orang. Kedua kapak termasuk jenis kapal keruk. Kapal pertama adakah jenis MV YC 6 dengan ukuran 8.012 gross tonnage (GT). Sedang kapal kedua berjenis MV ZS 9 berukuran 8.559 GT. Kedua armada laut ini berfungsi mengambil pasir yang ada di dalam laut, atau disebut kapal dredgers jenis TSHD.
Sesuai ketentuan Pasal 18 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari perairan pesisir wajib memiliki KKPRL dari pemerintah pusat. “Ini baru kerugian sumber daya kelautan yang diambil material. Kalau kita gabungkan, kalau ikut aturan PP Nomor 26, kapal ini harus bayar KKPRL, harus bayar bea keluar, harus membayar persetujuan ekspor, harus bayar IUP penjualan, harus membayar Amdal, artinya potensi penerimaan negara yang hilang lebih dari Rp223 miliar,” jelas Victor. Menanggapi temuan ini Direktur Jenderal PSDKP KKP Pung Nugroho Saksono mengatakan perlu sanksi tegas. Hal tersebut dilakukan agar ada efek jera dan tidak terulang kembali.