KANALHUKUM.CO. Selalu buntu dalam pembahasannya di parlemen, butuh political will agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) terwujud menjadi Undang-Undang. Harapannya agar RUU akan duisahkan dalam sidang paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada bulan September 2024 mendatang.
Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema Bedah RUU PPRT : Perlindungan untuk Pemberi dan Penerima Kerja – dari Apriori ke Afirmasi DPR RI. “Kita berharap pada sidang paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 27 September 2024 mendatang, RUU PPRT ini bisa disahkan menjadi undang-undang ,” katanya.
Dalam catatannya terkait PRT sudah begitu banyak, namun tidak dipedulikan oleh pimpinan DPR. “Ini yang menjadi tanya besar bagi kami,” ujar Rerie, sapaan akrab Lestari. Padahal lanjutnya, dalam RUU PPRT ini kita bicara tentang hak asasi manusia. “Dengan esensi perlindungan yang terkandung dalam RUU PPRT, mengapa sampai 20 tahun pembahasan untuk dijadikan menjadi undang-undang,” sambungnya.
Butuh strong politicall will
Sementara itu Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan menyebut sejatinya kendala dalam proses legislasi pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) lebih besar, jika dibandingkan dengan pembahasan RUU PPRT saat ini. Akan tetapi, tambah Willy, di Badan Musyawarah DPR belum ada pembahasan terkait RUU PPRT. Sedangkan pembahasan RUU PRT ini di hampir setiap rapat paripurna selalu ada interupsi.
Selain itu Willy menambahkan bahwa Surat Presiden untuk menindaklanjuti pembahasan RUU PPRT sudah dilayangkan sejak lama ke pimpinan DPR. “Kita butuh strong politicall will dari pimpinan atau lebih tepatnya Ketua DPR RI,” tegas Willy.
Menurutnya hingga kini RUU PPRT belum masuk pembahasan tingkat I sehingga menjadi kendala untuk bisa di-carry over ke periode mendatang. “Tetapi kami bertekad untuk menuntaskan pembahasannya pada periode ini,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Direktur Institute Sarinah, mengakui mendapatkan kesulitan saat berupaya membangun komunikasi partai politik yang menolak RUU PPRT. “Semua cara untuk melobi sudah dilakukan mulai lobi secara personal hingga langit. Mungkin hanya Tuhan yang bisa menggerakkan hati mereka,” ujarnya.
Menanggapi kebuntuan tersebut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman berpendapat dalam proses legislasi RUU PPRT memperlihatkan adanya political ignorance (ketidaktahuan politik). Hal ini, lanjut Airlangga karena adanya fear for equality dari kelompok yang menolak.
Bila RUU PPRT menjadi undang-undang, jelas Airlangga, kelompok yang menolak itu khawatir tidak lagi berada posisi yang lebih tinggi daripada PRT. Padahal tambah dia, setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum. Airlangga menyarankan untuk menghadapi ketidaktahuan politik pimpinan DPR harus didorong dengan kerja sama dan tekanan politik dari masyarakat sipil.
Menurutnya meski terbilang moderat, aturan pada RUU PPRT ini penting untuk dituntaskan menjadi undang-undang agar kita bisa melangkah ke depan. Karena, jelas Airlangga, semua kelas masyarakat seperti pemberi kerja, penyalur PRT dan para PRT dilindungi dalam RUU PPRT. Untuk itu tidak ada alasan lain kecuali ketidaktahuan politik pimpinan DPR yang menyebabkan tersendatnya pembahasan RUU PPRT.