kanalhukum.co. Substansi dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah banyak yang ketinggalan. Untuk itu masukan berbagai pihak sangat penting terkait dengan perubahan Undang- Undang Konsumen tersebut.
“Substansi Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini memang sudah banyak yang ketinggalan. Baik itu ukuran kebutuhannya apa, standar hukum secara nasional maupun secara internasional. Jadi, kalau kita bandingkan dengan negara lain, norma hukum perlindungan konsumen kita sudah banyak ketinggalan. Padahal manusia Indonesia yang enggak beda juga dengan konsumen di negara lain. Maka kita harus memperbaiki standar kualitas agar kita lebih memanusiakan masyarakat Indonesia. Belum lagi soal doktrin-doktrin yang akan kita kembangkan dalam standar nasional untuk ada pembaruan,” ungkap Kepala BK DPR RI Inosentius Samsul menjadi pembicara dalam FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Perancangan Undang-Undang (PUU) Setjen DPR RI.
Menurutnya selain dari segi mekanisme, aspek substansi juga menjadi hal yang penting dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang. Terlebih tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dinilai memang sudah saatnya untuk lebih disesuaikan dengan masyarakat Indonesia saat ini.
Di sisi lain, Sensi juga menyampaikan bahwa Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat umum. Jadi, sepenuhnya sebagai hukum bisnis. Dengan kata lain, menurutnya, Hukum Perlindungan Konsumen merupakan hukum ekonomi yang bersifat publik.
Meskipun, transaksi dalam perdagangan bersifat privat yang seolah-olah hanya berkaitan dengan persoalan perdata. Namun, transaksi tersebut memiliki nilai-nilai publik, sehingga sanksi pidana menjadi penting. Praktik di beberapa negara, menurutnya, menggunakan sanksi pidana itu lebih efektif. Oleh karena perusahaan atau pelaku usaha dinilai takut jika namanya tercemar lalu dipidana.
“Karena di penjara itu kan sesuatu yang mempengaruhi bisnis juga. Jadi, memang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tetap akan ada sanksi pidana. Tetapi formulasinya bagaimana dikombinasikan dengan sanksi administrasi itu akan dilakukan dan tetap ada,” jelas Samsul.
Selain itu Samsul menambahkan bahwa Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia belum menerapkan unsur tanggung jawab mutlak (strict liability). Sedangkan di negara lain sudah menerapkan hal itu. “Selama ini di bidang Hukum Perlindungan Konsumen memperdebatkan kenapa di negara kita belum menerapkan strict liability, di negara lain sudah. Nah, saya merasa dukungan yang kuat kemarin ketika UU KUHP itu sudah mengadopsi itu. Jadi tidak ada keraguan lagi. Perdata oke, pidana juga oke. Jadi, berjalan selaras,” pungkas sensi.
Sampai saat ini Badan Keahlian (BK) Sekretariat Jenderal DPR RI menerima masukan dari berbagai terkait perubahan UU tersebut. Dalam kesempatan itu, Kepala BK DPR RI Inosentius Samsul mengatakan ada dua aspek dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang, yaitu dari segi mekanisme dan segi substansi.
“Saya kira ada dua aspek yang harus saya sampaikan. Pertama, dari segi mekanisme prosedur bahwa kegiatan hari ini merupakan salah satu bentuk dari keterlibatan akademisi, stakeholder, dan masyarakat terkait pembentukan undang-undang, khususnya dalam menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang Undang,” ujarnya.