KANALHUKUM.CO. Tanggal 24 September selalu diperingati sebagai Hari Tani nasional. Hal yang menjadi perbincangan dalam peringatan tersebut adalah reforma agraria. Persoalan agraria memang selalu menjadi sorotan lantaran hingga sekarang sengketa tanah selalu menimbulkan gejolak. Bahkan pada tahun 2023 lalu tertinggi di antara enam negara Asia
Permulaaan reforma agraria terjadi pada masa Soekarno dengan meletakkan dasar penataan agraria, land reform atau juga sering disebut reforma agraria (RA). Pelopor reforma agraria tidak hanya Soekarno tetapi juga Muhammad Hatta yang dianggap sebagai konseptor yang mengusulkan pada kebijakan mengenai sistem pembatasan hak kepemilikan tanah sampai dengan 5 hektar
Pada tahun 1948 perumusan UU Agraria dimulai. Kala itu pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Akan tetapi panitia berakhir kandas seiring dengan gejolak politik panas waktu itu. Bermacam panitia telah terbentuk, namun selalu gagal. Tercatat pemerintah membentuk Panitia Agraria Jakarta 1952. Kemudian membentuk Panitia Suwahyo pada 1956. Setelah iru ada Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo 1960.
Peristiwa Tanjung Morawa
Yang menarik pemerintah mengeluarkan UU Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Adanya UU tersebut dilatarbelakangi Peristiwa Tanjung Morawa. Pendudukan lahan tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Adanya nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing kemudian membuat pemerintah mengeluarkan UU No 1 tahun 1958. Isinya tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Melansir laman dema.faperta.ugm.ac.id tanah partikelir adalah tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten). Hak pertuanan artinya sang tuan tanah berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan.
Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara. Dengan UU No 1 tahun 1958 tersebut hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara. Kemudian upaya mengambil alih lahan asing ke tangan rakyat dilakukan dengan ganti rugi. Artinya reforma agraria dikoordinasikan oleh pemerintah dengan cara ganti-rugi untuk meminimalisasi adanya konflik.
Lahirnya UUPA
Kemudian pada 1960 lahirlah Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA). Kelahiranya tidak terlepas dari prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerjasama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada. RUU tersebut disetujui DPR pada 24 September 1960 sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan UU Pokok Agraria.
Undang-undang ini menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru. UUPA ini mengganti produk hukum agraria kolonial yang pada prinsipnya menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Dalam UUPA mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah. Selain itu juga pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian diperingati sebagai “Hari Tani”.
Namun keadaan berbalik. Pemerintahan Soeharto menjungkir-balikkan proses reforma agraria dan menganggap segala kegiatan yang berkaitan dengan UUPA adalah komunis. Pada 1967 lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA. Ketiga UU baru tersebut seolah-olah adalah penjelmaan dari UU Agraria kolonial 1870 pada periode ini yang kemudian menimbulkan lebih banyak konflik agraria sehingga semakin menambah catatan hitam sejarah agraria di Indonesia.
Letter C
Orde Baru dengan ideologi pembangunannya dengan mudah merampas tanah-tanah rakyat, dengan ganti rugi maupun tidak. Penguasa mendasarkan kepada hukum positif, sedangkan rakyat pada hukum adat atau keterangan pengelolaan tanah sementara. Hal ini bisa saja terjadi karena pemerintah tidak melakukan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Bagi masyarakat, letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal ketentuannya hanya diberikan hak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat. Karena itulah waktu Orde Baru banyak tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan beberapa konflik agraria. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria, di Indonesia tahun 2023 terdapat 241 letusan konflik. Sengketa tersebut merampas seluas 638.188 hektar tanah pertanian, wilayah adat, wilayah tangkap, dan pemukiman dari 135.608 KK. Sebanyak 110 letusan konflik telah mengorbankan 608 pejuang hak atas tanah, sebagai akibat pendekatan represif di wilayah konflik agraria. Angka ini berada pada urutan teratas dari enam negara Asia lainnya, yakni India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.