Di tengah-tengah terjadinya perkembangan positif tentang keadilan restoratif di pelbagai Negara, Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) yang diselenggarakan setiap lima tahun, pada tahun 2000 membahas keadilan restoratif dalam Sidang Plenonya dan mengembangkan Rancangan Proposal untuk membentuk “UN Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programs in Criminal Matters” yang akan berlaku di segala tingkatan proses peradilan pidana dan menegaskan hakekat kesukarelaan dalam keikutsertaan dalam proses keadilan restoratif, serta merekomendasikan standar dan pedoman untuk penerapannya.
Menurut pendapat Umbreit dalam tulisannya mengenai Restorative Justice menjelaskan bahwa Restorative justice is a victim-centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and representatives of community to address the harm caused by the crime (Keadilan restorative adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana).
Terhadap pandangan tersebut Daly mengatakan, bahwa konsep Umbreit tersebut memfokuskan kepada memperbaiki kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana” yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian.Berkaitan dengan hal tersebut, menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menjelaskan mengenai Restorative Justice adalah pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat.
Dalam hal ini restorative justice mengandung arti yaitu keadilan yang direstorasi atau dipulihkan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah, restorative justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan. Korban tindak pidana berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana yaitu kerugian yang telah dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana wajib mengganti kerugian yang disebabkan olehnya kepada korban.
Penerapan restorative Justice yang telah diberlakukan terdapat di negara Australia, ketika seorang anak dinyatakan bersalah atas pelanggaran ringkasan, ia dihukum oleh Pengadilan Anak-Anak. Salah satu cara utama agar pengalihan anak-anak yang sangat muda dapat dicapai dalam hukum Australia adalah melalui pengoperasian anggapan doli incapax. Ketika menghukum seorang pelaku anak anak, pengadilan harus menjadikan rehabilitasi anak sebagai pertimbangan utama. Perintah hukuman yang dapat dibuat sehubungan dengan pelaku muda termasuk ikatan perilaku yang baik, denda dan persyaratan dalam tahanan pemuda.
Doli incapax, diterapkan dengan cara Diversi yang ditujukan bagi anak pertama kali melakukan tindak pidana untuk menghindarkan mereka dari sistem peradilan pidana yang dapat memberikan dampak negatif bagi perilaku mereka selanjutnya. Diversi juga tidak diberlakukan untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan yang mengakibatkan kematian maupun luka berat. Diversi dilakukan sejak awal proses dengan menerapkan informal dan formal police cautions serta family conferencing untuk mendiversi perkara anak yang terjadi dan menghindarkan anak dari pengadilan. Payung hukum yang digunakan adalah Young Offenders Act 1993. Polisi sebagai gerbang awal dalam menangani perkara anak bergerak berdasarkan kerangka kerja sistem peradilan anak.
Restorative Justice merupakan sistem peradilan pidana yang berusaha mendengarkan, menenteramkan pihak-pihak yang dirugikan oleh suatu konflik dan untuk memulihkan, sejauh mungkin hubungan yang retak ke arah yang benar dan adil di antara pihak-pihak yang berlawanan, yang berfokus pada pemecahan masalah melalui mediasi, konsiliasi, dialog dan restitusi, untuk secara timbal balik memperbaiki kerugian sosial dan kemungkinan menyatakan rasa penyesalan dan pemaafan. Di Indonesia sendiri, konsep ini dimuat ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Pasal 1 Angka 6 UU SPPA, menyebutkan bahwa:
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.